Minggu, 26 April 2009

Konsumsi Nasi Aking di Cirebon "Meluas" Gagal Tanam di Ende

Konsumsi Nasi Aking di Cirebon "Meluas"
Gagal Tanam di Ende

Cirebon dan Nunukan - Warga yang mengonsumsi nasi aking di Kabupaten Cirebon terus bertambah. Setelah di Kecamatan Kapetakan, kini sebagian warga Kecamatan Astanajapura pun terpaksa memakan nasi aking akibat tidak mampu membeli beras. Hampir seluruh penghuni Blok Pon, Desa Kendal, Kecamatan Astanajapura, mengaku mengonsumsi nasi aking. Ada yang memakannya tidak secara terus-menerus atau berselang-seling, ada pula yang terus mengonsumsinya selama lebih dari satu bulan belakangan ini. Kaseni (40), warga RT 01 RW 02 Blok Pon, Rabu (21/2), mengatakan, keluarganya mengonsumsi nasi aking karena tak punya pilihan lain. Harga beras di kampungnya sudah mencapai Rp 6.000 per kilogram (kg), sedangkan beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang menjadi jatah warga sudah habis.

Selama tiga tahun, kata Kaseni, setiap kali tak bisa membeli beras, keluarganya terpaksa makan nasi aking. Penghasilannya sebagai pekerja serabutan tak cukup untuk menghidupi tiga anak dan ayahnya yang berusia 80 tahun. Sartoni (70), warga lainnya, juga mengaku mengonsumsi nasi aking, bahkan ia menyimpan nasi aking hingga 2 kg. "Tentang rasa tak soal, yang penting kenyang. Kalau gangguan sakit perut, ya biasa, nanti juga sembuh sendiri," kata kakek yang hidup bersama seorang anak dan 11 cucunya itu. Selain Kaseni dan Sartoni, warga lain di Desa Kendal juga mengaku bernasib serupa. Warga desa itu umumnya bekerja sebagai buruh dan pekerja serabutan. Rumah mereka banyak yang berlantai tanah dan berdinding gedek atau anyaman bambu. Warga juga menganggap beras operasi pasar (OP) dari Bulog yang berharga Rp 3.700 per kg masih tergolong mahal karena penghasilan warga sebagai buruh serabutan dalam sehari kadang- kadang hanya Rp 5.000-Rp 10.000. Yang lebih memprihatinkan, mereka mengaku belum pernah ada OP di kampung mereka. Camat Astanajapura Doddi Priyatna mengaku belum mengetahui bahwa warganya banyak yang tak sanggup membeli beras dan terpaksa memakan nasi aking. "Waktu saya tanyakan kepada kepala desa, belum ada laporan yang masuk. Jika demikian kenyataannya, saya akan segera mengajukan operasi pasar beras agar warga terbantu," katanya. Diakui Doddy, di Desa Kendal, Astanajapura Kidul, dan desa lainnya di Kecamatan Astanajapura masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di daerah itu 15-20 persen.

Mahalnya harga beras sekarang ini memang tidak selalu menjadi masalah utama warga. Di Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, warga tidak selalu bergantung pada beras sebagai bahan makanan pokok. Ini disebabkan mereka gemar mengonsumsi ilui yang terbuat dari singkong. Ilui disantap dengan sayur daun ubi dan sup ikan. Makanan khas suku Dayak itu mirip "bubur lem". Bahan ilui adalah singkong yang diparut dan diperas sehingga tinggal serbuk. Serbuk itulah yang dimasak selama 10 menit. Ampas singkong pun tidak dibuang, tetapi dijadikan pakan babi. "Makanan lokal seperti ilui layak dikampanyekan agar kebergantungan daerah terhadap beras bisa berkurang," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Kaman Nainggolan di Balikpapan kemarin.

Gagal panen
Terkait dengan ketersediaan beras, dari Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dilaporkan, kemarin, 1.762,4 hektar atau sekitar 40 persen dari 4.406 hektar areal pertanian padi sawah di Kabupaten Ende gagal tanam akibat kekeringan. "Areal yang belum ditanam itu terutama di kawasan yang debit irigasinya amat rendah. Jika sampai akhir Februari curah hujan tak meningkat, areal yang gagal tanam kemungkinan meningkat," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Ende Donatus Randa Ma. (NIT/BRO/SEM)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

iya beli sih mangan sega aking kuh????????